Sabtu, 20 Juni 2015

4. UU No 19 tentang "Hak Cipta" & UU tentang "Informasi dan Transaksi Elekteronik"

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG
HAK CIPTA

I. UMUM

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para Penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para Penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara.
Indonesia telah ikut serta dalam pergaulan masyarakat dunia dengan menjadi anggota dalam Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual), selanjutnya disebut TRIPs, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994.
Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO), selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 yang selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta. Walaupun perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan budaya tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang disebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan yang sudah sepatutnya dimanfaatkan. Selain itu, kita perlu menegaskan dan memilah kedudukan Hak Cipta di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang perlu untuk mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang baru. Hal itu disadari karena kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional.
Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.
Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat, dibaca, atau didengar.
Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain, mengenai:
1. database merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi;
2. penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc) melalui media audio, media audiovisual dan/atau sarana telekomunikasi;
3. penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif pe nyelesaian sengketa;
4. penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang hak;
5. batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait, baik di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung;
6. pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi;
7. pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi;
8. ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
9. ancaman pidana dan denda minimal;
10. ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program Komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
======================================================================
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
 TENTANG
 INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
I. UMUM
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, seklaigus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvegensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi  (Law of Information technology), hukum dunia maya (virtual world law) dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

Yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem komputer dalm arti luas, yang tidak hanya mencangkup perangkat keras dan perangkat lunak komputer, tetapi juga mencangkup jaringan telekomunikasi dan sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut.

Sistem elektronik juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis menampilkan dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik.  Sistem informasi secara teknis dan manajemen sebenarnya adalah perwujudan penerapan produk teknologi informasi ke dalam suatu bentuk organisasi tersebut dan sesuai dengan tujuan peruntukannya. Pada sisi yang lain, sistem informasi secara teknis dan fungsional adalah keterpaduan sistem antara manusia dan mesin yang mencangkup komponen perangkat keras, perangkat lunak, prosedur, sumber daya manusia dan substansi informasi yang dalam pemanfaatannya mencangkup fungsi input, proses, aoutput, storage dan communication.
 Sehubungan dengan itu, dunia hukum sebenernya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidka lagi dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapanpun dan darimana pun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu, pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara indonesia secara komprehensif, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan rumit.

Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik (eletronic commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang teknologi informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang terustanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru dibidang teknologi informasi, media, dan komunikasi.

Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberitahuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.

Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai Orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disertakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.

Berkaitan dengan hal itu, perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyber space, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, aspek sosial, budaya dan etika. Untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik, pendekatan hukum bersifat mutlak karena tanpa kepastian hukum, persoalan pemanfaatan teknologi informasi menjadi tidak optimal.

Sumber : https://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_19_Tahun_2002
http://www.setneg.go.id/components/com_perundangan/docviewer.php?id=1969&filename=UU%2011%20Tahun%202008.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar